Bidik-jurnalis.com, Jeneponto – Permintaan agar Pemerintah Kabupaten Jeneponto mengambil tindakan tegas terhadap seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial AK alias Dedi semakin kuat. Ini menyusul dugaan skandal seksual yang melibatkan oknum ASN dari Kantor Camat Taroang tersebut.
AK diduga terlibat hubungan terlarang dengan seorang ibu muda berinisial “R” dari Makassar, yang berujung pada kehamilan. Namun, AK menolak bertanggung jawab atas anak yang lahir. Korban mengungkapkan bahwa hubungan mereka dimulai pada tahun 2019, di mana AK mengaku lajang. Korban baru mengetahui kebohongan ini saat istri sah AK menemuinya ketika kandungannya berusia lima bulan.
Korban juga mengaku pernah dipaksa untuk menggugurkan kandungannya, namun ia menolak. AK sempat berjanji akan menikahi korban dalam mediasi di Inspektorat Kabupaten Jeneponto, bahkan mengklaim telah mendapat restu istrinya. Namun, korban menolak karena tidak ingin menjadi istri siri dan merasa dibohongi.
Setelah anak lahir pada tahun 2020, AK hanya sekali memberikan bantuan berupa susu dan popok. Ia tidak menunjukkan itikad baik sebagai ayah biologis, bahkan menolak membantu saat anaknya sakit. Meskipun AK sempat muncul untuk perjanjian damai setelah kasus ini viral, korban menolak menandatanganinya karena nilai yang ditawarkan tidak manusiawi.
Tindakan AK diduga melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, khususnya Pasal 5 huruf a dan Pasal 10 huruf f, yang melarang tindakan asusila dan perilaku yang mencoreng martabat ASN. Seorang pemerhati sosial, Jupri, mendesak Pemkab Jeneponto dan Inspektorat untuk menonaktifkan AK selama pemeriksaan, mengingat kasus ini menyangkut etika jabatan, tanggung jawab sosial, dan moralitas publik.
Hingga berita ini diterbitkan, AK belum memberikan tanggapan dan memblokir kontak wartawan. Pihak Kecamatan Taroang dan Pemkab Jeneponto juga belum dapat dihubungi. Korban menyatakan akan menempuh jalur hukum, termasuk gugatan perdata untuk penetapan nafkah anak dan laporan pidana terkait penelantaran anak serta dugaan manipulasi status pernikahan, jika tidak ada penyelesaian konkret. (*)