Bidik-jurnalis.com, Bali – Pulau Dewata, julukan untuk Pulau Bali yang terkenal dengan destinasi wisata dunia, dalam beberapa minggu belakangan semakin ramai dipadati pengunjung. Saya telah beberapa kali ke Bali untuk liburan atau tujuan bisnis, namun belakangan ini suasana Bali telah berubah drastis dari apa yang seharusnya bisa diekspektasi sebagai destinasi wisata internasional yang berkelanjutan.
Bali, yang selama ini dikenal sebagai tujuan wisata dunia dan pulau Dewata, kini telah berubah secara masif dan menghadapi tantangan besar yang berpotensi merusak citra dan daya tariknya sebagai pulau yang identik dengan wisata tradisi, budaya dan keindahan alam.
Kemacetan di pusat-pusat wisata seperti Canggu, Seminyak, Legian, Kuta, Uluwatu, Ubud, dan Nusa Dua semakin parah, memperlihatkan bagaimana pembangunan infrastruktur tertinggal jauh dibandingkan lonjakan jumlah wisatawan dan ekspansi industri pariwisata. Jalan-jalan yang sempit dan tidak dirancang untuk menampung lonjakan kendaraan kini dipadati oleh mobil pribadi, Rent Car Mobil Mewah, Taksi Pangkalan, Taxi Online dan Sepeda Motor wisatawan. Tanpa perencanaan matang dan terpadu, Bali terancam menjadi korban kesuksesannya sendiri, di mana pariwisata berkembang pesat, tetapi infrastruktur tidak mampu mengimbangi.
Hotel, Villa, Beach Club, dan Resort Mewah bermunculan dengan cepat, terutama di kawasan wisata premium. Namun pembangunan fasilitas publik yang seharusnya mengiringi pesatnya pertumbuhan ini? Tidak ada transportasi umum yang memadai, tempat parkir yang cukup, atau jalur pedestrian yang nyaman. Pengelolaan sampah dan air bersih pun sering kali menjadi masalah yang diabaikan.
Lebih buruk lagi, banyak akomodasi wisata yang beroperasi tanpa izin resmi untuk menghindari pajak, menyebabkan potensi pendapatan daerah yang hilang begitu besar. Usaha ilegal milik investor asing yang memakai nama warga lokal sebagai “boneka hukum” atau nominee masih marak terjadi, menyebabkan kebocoran pajak yang merugikan pemerintah daerah dan masyarakat Bali sendiri. Semestinya pemerintah provinsi dan daerah tingkat dua mengambil langkah tegas untuk melakukan penindakan tegas pembangunan akomodasi dan fasilitas hiburan pariwisata bodong tanpa Ijin. Bahkan yang memiliki Ijin pun banyak melanggar Aturan seperti Sempadan Jalan habis sehingga usaha tidak memiliki Area Parkir Bongkar Muat Barang Memadai, Hotel dan Usaha lainya berdiri Megah dapat ijin padahal melanggar Bhisama PHDI Radius Kesucian Pura. Belum lagi Terbit nya ijin Alfamart Indomaret dll berdekatan dengan Pasar Tradisional yang jelas itu melanggar Aturan. Badan Sungai pun menjadi Usaha dengan IMB, semua Pelanggaran Aturan mendapatkan Ijin diduga maraknya Suap oleh Oknum Pejabat Koruptor dari berbagai lini.
Gelombang pendatang dari luar Bali terutama tenaga kasar tidak bisa dihalangi karena makin berkurangnya orang Bali yang mau jadi kuli tenaga kasar seperti buruh bangunan, pemulung sampah atau pembersih WC tersumbat.
Tidak hanya itu, pekerja asing ilegal juga makin marak di Bali, terutama di bidang yang sebenarnya bisa diisi oleh tenaga kerja lokal. Dari instruktur selancar, pemandu wisata, hingga tenaga kreatif di industri hiburan, sampai posisi puncak perhotelan banyak posisi yang diambil oleh pekerja asing tanpa izin kerja yang sah. Ini bukan hanya merugikan tenaga kerja lokal, tetapi juga merusak sistem ekonomi yang sehat dan berkeadilan.
Semua disebabkan akan kepentingan Politisi mendulang suara, lewat jadi Bekingan Siswa Sekolah Negeri Jalur Belakang Titipan Curang. Akhirnya SDM Generasi Muda Bali menjadi terpuruk kualitas nya. SDM yang lahir menjadi manja dan sangat lemah jiwa kompetisi nya. SDM Rendah ini akhirnya menjadi Pegawai Kontrak Pemerintah atau Perumda yang Gaji nya rendah di bawah UMK, karena kalah bersaing dengan SDM Luar Bali bahkan Asing yang mencari kerja di Bali.
Sejak diberlakukannya pungutan sebesar 10 USD per turis asing ke Bali melalui system online, banyak yang bertanya-tanya: Ke mana uang itu digunakan? Bagaimana mekanisme ditribusinya untuk penguatan pariwisata Bali? Dana ini memang dirancang dan dialokasikan untuk pelestarian budaya, infrastruktur pariwisata, dan peningkatan fasilitas umum. Namun, minimnya transparansi dalam pengelolaan dana ini justru menimbulkan kecurigaan penggunaan anggaran tersebut.
Pajak Hotel dan Restoran (PHR) yang seharusnya dikembalikan untuk pembangunan fasilitas pendukung pariwisata juga tidak terlihat dampaknya. Seharusnya dengan PB1 melimpah itu, pemerintah daerah dapat secara luas dan terbuka melakukan inovasi dan pembangunan untuk menunjang pariwisata yang berkelanjutan, terutama perbaikan infrasturuktur, fasilitas umum, sekolah dan rumah sakit untuk pariwisata berkelanjutan.
Kini, Bali berada di persimpangan jalan diantara menjadi destinasi wisata yang dikelola dengan baik dan berkelanjutan, atau justru terbenam dalam kemacetan, regulasi yang lemah, serta eksploitasi oleh pemodal asing yang tidak bertanggung jawab.
Jika tidak segera ditangani, Bali tidak akan lagi menjadi destinasi impian, melainkan surga bagi segelintir orang dan mimpi buruk bagi penduduk lokal. Pariwisata memang mengangkat Bali ke puncak dunia, tetapi tanpa regulasi dan pengelolaan yang baik, Bali bisa tenggelam oleh industrinya sendiri.
_____________
Agung de Aryawan – Bali