Bidik-jurnalis.com, Editorial – Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) kini bertambah usia yang ke- 51 tahun, tepatnya pada tanggal 17 Maret 2025 ini. Ulang tahun PPNI tahun 2025 kali ini mengangkat tema “Perawat Kuat Bersinergi Membangun Bangsa”. Tema ini menarik jika dikaji kedalaman maknanya, khususnya bagi bangsa Indonesia dimana peran perawat termasuk peranan yang paling sentral dalam menjamin keselamatan dan kesejahteraan kesehatan dan tentunya berdampak pada keutuhan kehidupan manusia.
Jika menelisik lebih jauh tentang kerja-kerja perawat, frasa “Perawat Kuat” sangat relevan dengan peran dan kinerja perawat yang 1 x 24 jam bekerja standby memastikan pelayanan kesehatan pasien terakomodir dengan baik, terutama di tengah situasi darurat kesehatan seperti yang baru saja dilewati di masa pandemi covid-19, dan berbagai situasi darurat lainnya. Kemampuan kerja tenaga perawat tidak perlu diragukan, dalam keadaan apapun, apalagi setiap perawat mampu merawat pasien dengan segala jenis penyakit yang dialami. Dengan kata lain, tuntutan menjadi perawat pun bukanlah hal yang mudah, dimana ia harus mampu menguasai segala ilmu kesehatan, yang bahkan dikuasai oleh dunia kedokteran. Itu sebabnya, perawat pantas menjadi mitra tenaga medis dan atau dokter dalam segala situasi.
Saat ini ilmu pengetahuan tentang kesehatan sudah sangat berkembang, dan mengalami perubahan dalam disiplin keilmuan dimana tenaga perawat sudah memiliki spesifikasi sesuai dengan bidang keahlian tertentu, misalnya perawat Kamar Bedah, Perawat Mata, Perawat Anestesi, Perawat Paru-Paru, Perawat Jantung, Perawat anak, perawat Gerontik, dan berbagai spesifikasi perawat lainnya.
Perawat dengan berbagai spesifikasi dan ketrampilan hadir dan bersinergi dengan berbagai elemen profesi dan membentuk satu kekuatan yang menopang perkembangan pelayanan kesehatan yang prima dan terbaik.
Namun jika mencermati jenjang karir perawat di Indonesia, cukup disayangkan, karena tenaga perawat di Indonesia masih dibatasi banyak hal dalam proses pengembangan karir. Kita ambil contoh terkait masalah perizinan yang berbelit-belit bagi tenaga perawat untuk mendapatkan surat izin atau SIPP. Dalam Undang-undang tenagang Perawat, Nomor 38 tahun 2014 disebutkan izin diberikan apabila memiliki STR dan kelengkapan administrasi lainnya, terutama harus memenuhi kecukupan SKP (Satuan Kredit Profesi). Beruntung bahwa, STR saat ini tidak perlu diperpanjang karena sudah berlaku STR seumur hidup. Ini patut diapresiasi kebijakan pemerintah yang demikian. Namun dalam proses pengembangan karir profesi, belakangan ini tenaga perawat sering mengalami kendala terkait pengurusan kecukupan SKP yang menjadi syarat utama mendapatkan SIPP atau perpanjangan SIPP, yang sudah mulai menggunakan MPP Digital.
Persoalan bukan terletak pada layanan digital MPP tetapi proses verifikasi SKP perawat yang dulunya seharusnya dibawah kelola organisasi Profesi PPNI, sekarang justru dikelola oleh Ditjen Nakes SDMK Kementerian Tenaga Kesehatan, yang dalam beberapa tahun terakhir mengalami kinerja yang buruk, lamban melayani verifikasi SKP Perawat, sehingga tidak sedikit perawat yang sulit memperpanjang SIPP dan terancam dirumahkan dan atau putus hubungan kerja dengan unit kerja. bahkan ironisnya, SKP tenaga perawat yang berbulan-bulan tidak pernah diverifikasi oleh Ditjen Nakes SDMK Kemenkes. Kebijakan pengelolaan sistem layanan tenaga kesehatan dengan Satu Sehat perlu dikaji kembali dengan mengedepankan prinsip “Kemudahan Layanan Publik”, bukan mempersulit pelayanan publik. Semakin canggih dan digital layanan, harusnya semakin cepat proses pelayanan, karena itulah prinsip teknologi pelayanan publik.
Kementerian Kesehatan bersama Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan harus peka terhadap kebutuhan dan situasi perawat. Perkara verifikasi SKP yang lamban ini menjadi momok bagi perkembangan karir perawat. Apalagi sebenarnya, verifikasi SKP itu harusnya berada di bawah kelola organisasi profesi seperti PPNI, karena SKP itu substnsinya adalah berhubungan dengan keprofesian perawat yang berada di jalur organisasi profesi. Jika peran organisasi profesi semakin dibatasi oleh kebijakan pemerintah, pertanyaan yang bisa terlontar, apakah organisasi profesi masih dipercaya eksistensinya? Pemerintah harusnya memfasilitasi organisasi profesi dalam mengelola administrasi pengembangan profesi perawat. Ini akan terus menjadi persoalan yang tidak terselesaikan, jika Kementerian Kesehatan, dalam hal ini melalui Direktorat tenaga Kesehatan tidak memberikan kepercayaan penuh kepada organisasi profesi untuk mengelola kebutuhan profesi perawat.
Ulang tahun ke -51 PPNI ini setidaknya perlu menjadi momen refleksi bersama pemerintah dalam memperbaiki layanan dan kebijakannya bagi perkembangan perawat di Indonesia. Jangan ada lagi perawat yang lambat verifikasi SKP dan akhirnya harus kehilangan kesempatan kerja. Kementerian Kesehatan RI bertanggungjawab dalam konteks ini untuk mengembalikan hak-hak perawat dan organisasi profesinya dalam mengelola kebutuhan tenaga perawat. Sinergi tidak dalam tataran membatasi dan mengambil kewenangan, tetapi memfasilitasi kerja sama yang saling mendukung. Semoga pemerintah menyadari persoalan ini dan terus memperbaiki titik persoalannya. (Red)